Pada saat itu, saat aku mengunjungi kotamu. Surabaya.
Waktu menunjukkan pukul 04.30. Aku pikir waktu yang ditunjukkan oleh
jam tanganku sesuai dengan waktu di-tempatmu. Aku bisa pastikan bahwa kulit
wajahmu pasti sedang terlipat diantara kerutan-kerutan sarung pembungkus bantal
kepunyaanmu. Lantas aku mengira-ngira, membayangkan bagaimana posisimu saat
terlelap. Rambutmu yang hitam pekat, dengan potongan rambut model cepak
dan mempunyai belahan rambut kekiri menumpuk disisi kanan, karena kamu
tidur tertelungkup dengan muka menghadap ke sisi kiri. Tangan kananmu sedang
menggenggam benda ajaib yang lebar dan pintar. Tablet. Sedang tangan kirimu
tampak menggapai. Aku tersipu dengan semburat warna merah pada tulang pipiku.
Aku tersenyum, tapi jelas terasa hatiku ngilu karena penuh kecewa. Aku hanya
bisa membayangkanmu, tanpa bisa menyentuh tubuh dan pikiranmu.
Lalu aku melanjutkan dialog dengan khayalanku. Membentuk
narasi-narasi singkat agar aku bisa berandai-andai jika pada saat itu aku berada
tepat disisimu. Kamu pasti tahu, akhir-akhir ini, aku selalu ingin mencuri
waktumu. Menyita perhatianmu. Semua aku lakukan semata-mata supaya aku bisa
tergelincir dan terpilin masuk kedalam lipatan-lipatan seprai tempat tubuhmu
sekarang terbaring dengan mata terpejam. Syukur-syukur aku bisa melompat dan
memasuki alam bawah sadar yang disebut mimpi, kemudian berlari-lari riang memenuhi
ruang imajimu. Ah, Aku teringat, kamu pernah berkata jika ada orang yang masuk
dimimpimu, itu berarti orang tersebut sedang merindukanmu. Kamu perlu tahu,
jika aku memang sedang merindumu. Lantas aku bertanya, apakah aku pernah berada
dimimpimu? Talamusku lalu tertawa dengan kencang dan menertawai seluruh organku
yang masih menyimpan namamu. Bagaimana tubuhku masih bisa mencinta pada seorang
lelaki yang punya hati yang kerasnya melebihi baja? Hatiku membelamu tetapi
bibirku mengatup bisu tanpa ada penjelasan.
Sudah hampir setengah tahun aku begini. Lima bulan. Kalikan tiga
puluh. Kalikan dua puluh empat. Kalikan enam puluh. Kalikan lagi enam puluh. Lalu
kalikan lagi enam puluh. Niscaya akan kau dapatkan angka ini: 777.600.000 Itulah
banyaknya milisekon sejak pertama aku jatuh cinta kepadamu. Aku jamin, angka
itu bisa lebih fantastis jika ditarik sampe skala nano. Kamu bisa
membuktikannya sendiri. Dan aku berani bertaruh, engkau masih disitu. Ditiap
inti detik, dan didalamnya lagi, lagi, lagi, dan lagi. Kamu perlu tahu,
penunjuk waktuku tak perlu mahal. Memang bersamamu memberikan sensasi keabadian
sekaligus mortalitas. Rolex-pun tak mampu berikan hal itu. Mengertilah, tulisan
ini tak bertujuan untuk merayu atau membunuhmu lewat rentetan aksara. Kejujuran
sudah seperti riasan wajah anak muda yang menor, aku tak bisa membayangkan jika
menambahinya lagi dengan rayuan. Angka ratusan juta tadi adalah fakta
matematis. Empiris. Siapa yang bilang jika cinta tak bisa logis. Cinta mampu
merambah dimensi angka dan rasa sekaligus. Kamu percaya kan?
Aku melihat jam tanganku kembali, sekarang ditempatku berdiri,
Gedung Dyandra Convention Centre menunjukkan pukul 05.30. Tak terasa sudah satu
jam aku disini memikirkanmu. Menyumbangkan lagi 216.000 milisekon kedalam
rekening waktuku. Terima kasih, aku haturkan padamu, karenamu aku semakin kaya
saja. Andaikan bisa kutambahkan satuan rupiah, atau dolar dibelakangnya. Tapi
menurutku, engkau tak ternilai. Kamu adalah pangkal, ujung, dan segalanya yang
ditengah-tengah. Sensasi ilahi. Tidak dolar, tidak yen, tidak juga rupiah,
mampu menyajikannya.
Aku tak pernah tahu dan paham tatanan tempat tidurmu. Bukan aku
yang sering menikmati tempatmu terlelap. Entah siapa saja. Mungkin wanita lain,
atau mungkin cuma guling atau bantal-bantal ekstra. Terkadang aku cemburu pada
benda-benda mati disekelilingmu. Yang mendapatkan apa yang paling aku inginkan,
dan aku kalah dan tak mampu bersaing dengan mereka. Aku tentu saja iri pada
baju tidurmu, handukmu, apalagi pada guling. Ahh.. Sudah hentikan! Aku tak bisa
melanjutkan hayalanku soal ini. Membayangkannya saja sudah ngeri. Aku ingin
merasakan dipeluk olehmu dan didekap tanpa pretensi. Mungkin rasanya seperti
disurga. Dan aku perlu beribadah jungkir-balik untuk mendapatkannya.
Kini, izinkan aku sedikit memejamkan mata. Menyusulmu
sebentar saja, menyusulmu kealam abstrak, dimana segalanya bisa bertemu.
Pastikan kamu ada disana, tidak terbangun karena ingin minum, pipis, mimpi
buruk atau pekerjaanmu yang menumpuk. Tunggu aku sebentar. Begitu banyak yang
ingin aku sampaikan padamu. Mari kita piknik, makan eskrim kesukaanku, main
game bersama, adu otak, bercanda, adu argumen… Tak ada yang tak bisa kita
lakukan, bukan?
Tapi, jika aku bisa memilih satu, aku ingin bermimpi tidur
disebelahmu. Ada tanganku didalam tanganmu. Tidurku meringkuk disebelah kanan
sehingga wajah kita berhadapan. Dan ketika matamu terbuka nanti, ada aku
disana. Rambutku yang sedikit berantakan dan wajahmu yang tercetak kerut
seprai.
Tiada yang lebih indah dari cinta dua orang dipagi hari.
Dengan muka berkilap minyak, bau feromon yang menyeruak, gigi yang berselimut
mentega, dan juga mulut masam. Mereka masih berani tersenyum dan saling menyapa
“selamat pagi”.
Ahhhh, Aku tersenyum, khayalanku terlalu tinggi. Maafkanlah.