Welcome To My Little World. Dont Forget To Leave Any Comment and Come Back Again :)

Senin, Desember 28, 2015

0

Sajak Hujan



Sepagi ini hujan turun, aku masih terpaku dibawah selimut, sambil menenangkan debar jantung yang mulai terasa menyesakkan, dan membuat napas-ku tercekat. Diam-diam ku basahi pipi-ku dengan air mataku sendiri, memaklumi setiap kejadian yang sudah terjadi. Redup lampu yang terlihat dibalik selimut menyadarkan-ku, bahwa penerang hidupku kini sudah tak lagi ada.

Hujan semakin deras, tubuhku perlahan menggigil akibat dingin, yang menerka sekuat apa aku merindu tanpa kau ketahui. Suara kecipak air dari pengendara membenamkan-ku dalam kumbangan kenangan setiap detil percakapan. Sebab kau tak pernah luput ku ingat, meski kenyataan sering kali membuatku tertegun dengan  mengendalikan napas yang terisak-isak.

Deras hujan semakin menerjang, gemuruh petir yang memantak, mengingatkan-ku akan dianmu yang bengis dan lebih menyayat dari belati berkarat. Senyum-ku tak terlihat, membayangkan langkah kakimu yang perlahan menghilang. Sebab kumahfumi, memahami ialah pelajaran yang tak mengenal evaluasi, dan aku gagal dengan cemerlang.

Hujan sudah mulai reda, aku mulai merangkai kata untuk menerka, mencari setiap kemungkinan hadirmu disela-sela ilusi mimpi yang tercipta. Dan kini ku ketahui bahwa hadir-ku tak pernah kau jumpai, meski hanya dalam sebuah imaji.

Hujan telah berhenti sepenuhnya, namun jiwaku justru ditodong senjata yang tak kasat mata. Aku memejamkan mata, menghitung setiap degup jantung-ku yang linglung. Tak ada dengung yang memekik telinga, tapi jelas ku rasa tembakan peluru rindu melesat  dari selongsong dada, merambat dan mengenai batinku tepat.

Door. Aku mati ditempat.
Semarang, 28 desember 2015

Sabtu, Desember 26, 2015

0

Perihal yang Ingin Aku Sampaikan Padamu

Untuk lelaki yang belum pernah ku temui.

Mungkin kamu akan menerka-nerka apa yang akan aku sampaikan disetiap baris kalimat yang akan kamu baca ini. Saat ini tepat dini hari, dan otak-ku masih saja memikirkan bagaimana caranya untuk mengutarakan semua hal yang mengganggu laju kerja otak-ku. Ini tentang aku, tentang kamu, tentu saja tentang kita. Sebetulnya aku tak ingin mengatakan ini, tetapi aku tak ingin lagi terjebak pada hal yang sama. Menunggu seseorang yang tak pernah berlari kearah-ku. Aku bukanlah perempuan yang dengan mudah mengatakan keinginanku. Semuanya tersimpan apik dalam rentetan rentetan kalimat-kalimat implicit yang terkadang aku lontar-kan begitu saja dan bohong jika kamu tidak menyadarinya. Pagi ini, aku mencoba untuk mendeskripsikan apa yang ingin aku ungkapkan kepadamu.

Kau mungkin berpikir, Mungkinkah sepasang hati bisa jatuh cinta walaupun mereka belum pernah bertemu?  Atau mungkinkah seseorang dengan mudah menyerahkan segenap hatinya kepada sosok orang yang belum pernah ditemuinya? 

Mungkin pertanyaan diatas terdengar mustahil untukmu. Tetapi menurutku, semuanya bisa saja terjadi. Bagiku, tak ada yang mustahil dalam cinta, sekalipun mencintai seseorang yang belum ter-jamah pertemuan. Yapp!! It just likes me. Let me recall our first meeting before I start to explain what is in my mind. That day, you mentioned my nick name in the channel of our game. I was so curious about you. Then we started our first conversation.  After that, I started to develop my strong feeling for you. However, we had ever had a little misunderstading, but since that day we became a stranger till today. Do you still remember it? So funny, isnot it?

Huh! Finally, I have to say something about my feeling for you, bahwa aku sudah terlanjur mencintaimu. Aku ingin mencintaimu layaknya mentari, yang bergulir dari kanan ke-kiri. Aku ingin mencintaimu seperti udara, yang tak terlihat namun bisa kau rasa. Tapi apa semua ingin dan harapku akan menyentuh kenyataan? Inilah yang disebut mimpi, selalu terlalu tinggi. Kali ini, aku sudah tidak lagi peduli apakah kamu juga merasakan apa yang aku rasakan. Aku sudah tidak perduli, apakah nanti setelah kamu membaca ini, kamu akan mencampakkan ku atau tak menganggap ku ada. Yang aku tahu saat ini, aku mencintaimu, dan ku usahakan cintaku tidak akan menyusahkan mu. Aku tak akan melarang mu pergi atau memintamu tinggal setelah pengakuan ku ini. Semua keputusan penentu kita, aku serahkan kepadamu.

Kamu masih ingat dengan puisi yang tempo hari aku buat untukmu? Ada sebait puisi yang sengaja aku hilangkan pada saat itu, dan hari ini, aku pastikan kamu mengetahuinya.

Seorang pria, sederhana saja. 
Senyumnya menyimpan banyak tanda tanya. 
Tatapannya mengganggu laju kerja otak, 
dan gerak-geriknya memaksa-ku agar tidak melewati setiap inchi per-pindahannya. 
Lalu semua terjadi begitu saja,
saat sapa lembutnya menjaring nyata menyentuh gendang telinga.
Saat percakapan kecil yang tercipta berubah menjadi deretan narasi nyata.
Aku dan dia mengalir begitu saja.

Seperti curah lembut hujan yang jatuh ke-permukaan. 
Sederhana sekali, 
cinta memang selalu menuntut kesederhanaan.
Kala itu cinta tak lagi menjelma menjadi sesuatu yang sederhana.
berangsur-angsur tingkatannya berbeda.
Hingga dia menjelma menjadi dua kata
Luar Biasa.

Jika kamu-pun mencintai ku, 
seharusnya kamu tidak mempersulit langkah-ku
untuk membahagiakan mu.

Semarang, 26 Desember 2015

Rabu, Oktober 21, 2015

0

Rasa Kehilangan



Credit Picture: weheartit.com
Hingar bingar lampu pada jalan utama tak mampu membuat aku sekejap pun untuk mengalihkan pandanganku pada sebuah mini album kita. Aku memang bukan pengingat yang baik, bahkan sampai saat ini aku lupa bagaimana kita pernah sedekat nadi. Dekat? Mungkin aku salah mendefinisikan kalimat dekat, karena bagimu kita bukanlah apa-apa, atau bisa jadi definisi dekat menurutmu sudah berbeda saat kita bersama, dulu. Iya dulu, sebelum semuanya sekejam ini. Menurutku, dulu adalah kalimat yang sangat menyiksa untuk didengar. Biasanya kata itu terdengar ketika semuanya sudah berubah jauh berbeda dari sebelumnya, atau mungkin kata tersebut menjelaskan tentang sesuatu yang sangat dekat, lalu waktu membuat hal tersebut menjadi sangat berjarak. Sama seperti saat ini, saat aku mulai merindukan kamu. Aku tak berani menyimpulkan apakah kamu merindukan ku juga. Tetapi setahuku, ketika kau merindukan seseorang, kau akan mencoba untuk menanyakan kabarnya kan? Ah, atau mungkin, aksara kangen menurutmu sudah bergeser arti menjadi sesuatu yang berbeda. Aku tak tahu, Mas.
                Entah kenapa, semakin lama aku melihat foto kita, mataku semakin memanas. Aku tersenyum, tapi dadaku bergemuruh sangat hebat, tak ada susunan huruf yang mampu menggambarkan perasaan macam apa yang terjadi. Aku menghela nafas, menahan sejenak logika yang sedang berperang dahsyat melawan perasaan yang tak bisa aku elak. Ada sedikit hambatan pada sistem inspirasiku, seperti ada penghalang saat otot antar tulang berkontraksi. aku tak tahu apa yang menjadi sebab dadaku ngilu, yang jelas ketika mengingatmu, ada semacam belati tajam yang semakin masuk meranggas tanpa batas menghujam apa saja ditubuhku. Dan aku seolah pasrah menerima kenyataan bahwa mengingatmu membuatku sekarat dengan napas tercekat. Ah, aku sudah mati rasa. Rasaku sudah hancur ketika kau mengusirku secara sederhana tapi menyiksa. Ini tak adil untukku, dulu kau yang menarikku masuk kedalam duniamu, sekarang kau yang menyuruhku pergi. Seolah aku penyebab dari ketidakbahagiaanmu. Apakah aku memang tak pernah membuatmu bahagia, mas? Jika kau tak bahagia, lantas aku sebut apa saat kau tertawa kegirangan tanpa aba? Mungkin kau hanya terhibur, dan aku adalah sang penghibur. Seironis itu hubungan kita, mas.
                Kau memenuhi kepalaku, macam hujan yang datang sesukanya, lalu menjadi pengingat rasa kehilangan. Terdapat banyak kerusakan reseptor gerak sadar saat kau pergi. Tak banyak yang aku lakukan saat melihatmu punggungumu semakin jauh tak terlihat. Seperti angin topan yang membawa ku tinggi. Terlalu tinggi. Dan seketika itu pula aku dijatuhkan tanpa persiapan. Tak ada yang bisa meredam gejolak pertarungan sengit antara akal sehat dan nurani untuk memintamu untuk tetap disini. Mungkin aku terlalu  egois, terlalu menuntut kamu berada disisiku. Sedang Tuhan saja susah payah memisahkan kita karena kesamaan yang beda. Semesta ini terlalu mempermainkanku dengan mempertemukanku pada seseorang yang tak sempat aku mengatakan cinta padanya. Letupan letupan kesedihan tak bisa aku hindari, kepalaku masih terdapat gerak-gerik singkatmu yang terekam manis pada setiap sel-sel dalam otakku. Aku sering mengalami sakit kepala yang tak tertahankan akhir-akhir ini. Mungkin ini dikarenakan karena kepalaku diisi sesak olehmu, tak ada apapun kecuali narasi-narasi singkat pembentuk kenangan yang nyata. Aku masih mencintaimu, mas.
                Hujan mungkin menjadi terdakwa karena sudah membuat anak adam menangis sejadinya ketika hujan datang dengan penuh kesadisan tempo dulu. Saat jari jemarimu memenuhi sela jari jariku.  Tak bisa dibantah, jika mengingatmu seperti menenggak vodka secara berkala. Memabukkan dan menghangatkan, namun sering sekali aku harus menahan sakit sendiri saat vodka membunuhku perlahan. Pembuat candu yang membunuh. Sesakit itulah mas, aku mengingatmu. Tak ada rangkaian pembentuk kalimat rindu untukmu, karena kehilanganmu itu adalah matiku. Tak ada lagi senyum manis yang terbentuk manja. Tak ada lagi tatapan mata bahagia dari gadis yang kau tinggal pergi tanpa kabar. Ketika kau pergi, bukan hanya kamu yang pergi mas, tetapi juga aku dan sepenuh hatiku juga ikut pergi bersamamu. Pergimu itu singkat mas, tapi itu membawa nestapa tak berkesudahan.
                Sebelum aku menyudahi rangkaian elegy patah hati, aku ingin kau tahu tentang dia yang sekarang. Dia yang tanpa kamu dua tahun lalu. Kau harus satu hal dari dia saat ini mas, dia sekarang menjadi wanita penjaja keromantisan pada lelaki. Dia tidak jual diri, mas. Dia hanya menjual retorika cinta yang digemari banyak pria, yang membuat para wanita lain mengais ngais belas kasihan karena lelakinya menggadaikan kata setia untuk seorang gadis yang tak percaya cinta. Mungkin pergi mu itu sangat mudah bagimu mas, tapi tak pernah mudah untuk gadis yang kau tinggal sendirian dengan mata penuh sembab sebab kau. Kau tahu gadis itu kan, mas? Gadis yang sedang pernah kau berikan kepercayaan menjaga rumah singgahmu yang penuh kebahagiaan didalam dunia maya. Aku.

Salam kangen untuk kamu yang bernama Indra.
Dari gadis yang pernah kau telepon saat kangen kangennya.

Jumat, September 25, 2015

0

Beda yang Tak Sama




 Matahari mulai turun kearah barat, dan aku masih saja menunggu lelaki yang biasanya aku tunggu ditempat ini. Tempat dimana kita menumpahkan semua pikiran kita bersama. Tempat yang selalu saja bisa membuatnya tersenyum ketika dia mengingatku. Aku selalu bertingkah konyol dihadapannya, sedang dia adalah lelaki yang sangat mengerti bagaimana berpikir secara rasional. Seharusnya, dua puluh menit yang lalu dia keluar dari tempat ibadahnya, lalu menemuiku sejenak dan kita beriringan menuju tempat ibadahku. Tetapi hari ini, dia sama sekali tak nampak keluar dari tempat ibadahnya. Aku masih menunggumu, Mas.
Saat matahari sudah pergi menyinari bumi, aku berjalan seorang menuju tempat ibadahku tanpa dirimu. Aku mengingatmu dalam sepi. Senyap. Saat aku selesai beribadah, aku selalu merapalkan doaku untuk kita. Aku juga selalu berdoa untuk kebahagiamu kepada Tuhanku, agar diamankan, agar didengar, agar diaminkan, lalu dikabulkan oleh Tuhanmu. Terkadang, aku berpikir apakah aku termasuk kebahagiaanmu atau tidak. Setidaknya, jika aku menjadi salah satu penyebab kebahagiaanmu, Tuhan tak akan pernah memisahkan kita. Saat aku keluar, aku melihat kembali tempat kita sering bercengkrama akrab dengan perbedaan kita. Kosong.
Kemarin, saat kita memperbincangkan tentang mengapa selalu ada degup jantung yang cepat saat jatuh cinta, namun selalu ada nyeri dada yang tak kunjung reda saat nestapa. Tentang mengapa yang jauh bisa berada dalam ingatan, lalu yang dekat bisa jadi penyebab kebencian. Tentang mengapa kupu kupu terbang diperut saat senang, namun mati seketika saat logika berucap jangan. Ada terlalu banyak mengapa ketika kau mencintai yang tidak bisa dijalani. Ini tentang aku, kamu, dan tentu saja tentang kita. Berjejeran perbedaan yang tak dapat dipisah, meskipun kita mencoba mengurai yang ada dengan segenap cara. Tentang persamaan yang banyak perbedaan, tentang mendung yang suka sekali menaungi masa depan. Cobalah aku jelaskan mengapa.
Kita adalah cucu adam yang mempunyai perasaan yang sama, kita adalah manusia yang saling jatuh cinta. Kau adalah romeo dan aku Juliet. Tau bagaimana cara kerja sistem endokrin dalam tubuh? Sistem endokrin terjadi saat hormon dikirim ke dalam aliran darah lalu memenuhi setiap aliran aliran terkecil dalam diri dan kau berada disana. Kau adalah kanan dan aku sang kiri. Kita macam kaki yang melangkah beriringan, macam tangan yang saling menggenggam. Maka tak masalah jika seharusnya bersama. Seharusnya tak ada penghalang tinggi diantara kita. Namun kita sadar, bahwa ada dua lintas yang tak berbatas. Saat setiap perbedaan adalah penyempurna persamaan. Saat persamaan ada, maka perbedaan lebih memiliki arti.
Aku salah katamu, aku tak benar ungkapmu lagi. Perbedaan kita terlalu besar tuturmu berulang. Tak ada akhir yang pasti untuk perbedaan kita. Saat ini, kita tidak sedang menaati sesuatu yang semudah degup jantung yang bekerja lebih giat, mengingat yang membuat kita bahagia, atau kupu-kupu dalam perut. Ini adalah tentang pembuka batin diri kita yang sebenarnya, tentang cerminan diri kita yang sesungguhnya. Seharusnya kita berterima kasih pada-Nya bukan mengalih seperti ini. Perbedaan kita sangat nyata. Kita sedang berpijak pada hal yang tak sama. Kita menyebut Sang pencipta dengan nama yang berbeda. Kita sedang menaati iman yang tak serupa. Sekali lagi ku sampaikan padamu bahwa aku sangat sekali bersyukur telah mengenalmu, meskipun pada akhir kisah kita harus mengalami derita yang tak kenal rasa iba. Berjalan seorang-orang meskipun kita mempunyai tujuan yang sama. Aku tak akan marah, tak akan pernah, karena dengan ini, kita akan lebih menghargai perbedaan meski tak berujung bahagia. Aku juga tak pernah menyesali semua yang sudah terjadi, karena bagaimanapun juga rasa ini adalah anugrah.
Kau benar kataku, kau tak salah ujarku lagi. kita seperti dua tapal yang tak berbatas. Kita hanya bisa berjalan beriringan tanpa pernah ada ujung kebersamaan. Kita seperti garis sejajar yang hanya bisa  berdekatan tanpa bisa menyatukan jiwa. Perbedaan kita memang sangat kuat. Bahkan jika aku harus memilih antara penciptamu atau dirimu, jelas aku akan kalah telak. Karna pasti, penciptamu dan dirimu adalah sosok yang berbeda. Dia adalah penguasa jagad raya, dan penguasa dirimu. Ini adalah pilihan yang tak sesederhana yang aku ungkapkan diawal bahwa beda berarti sama. Perbedaan memang jelas, dua lintas tak terbantah, saat senang sedih, kosong isi, serta putus serpi. Maka bukankah temu juga memiliki sahabat yang bernama pisah?

Untuk kamu yang hanya menjadikan cintaku sebatas pengakuan yang tak direstui Tuhan.

Semarang, 09 September 2015

Kamis, Juli 02, 2015

0

Sang Sepi yang Takut Kesepian


Temaram senja baru saja nampak, tapi bayangmu sudah memenuhi isi kepalaku dengan rentetan-rentetan memori yang tak pernah ingin aku akhiri. Tak dapat ku pungkiri, saat senja menjemput sang malam hadir, bayanganmu nampak lebih giat menghampiriku, bersamaan dengan datangnya gelap. Bagiku, gelap adalah teman yang sangat menyenangkan, dengan gelap aku lebih bisa mengenalmu lebih dari siapa-pun, dengan gelap aku bisa membayangkan tatapan hangat matamu. Meskipun, sering kali, gelap mecoba membunuhku dengan mendekatkanku akan sunyi.

Aku masih saja merutuki diriku yang terlalu menyukai gelap yang selalu membawa temannya sunyi saat sore berganti. Sunyi selalu saja membawaku kepada memori masa lalu saat debar jantungku bekerja dengan giat saat melihatmu, senyum manis, tawa lepas, kecupan-kecupan yang memabukkan, serta pelukan-pelukan yang hangat yang lebih hangat dari tungku api yang pernah kita nyalakan dengan penuh kerelaan. Nyeri didada tak lagi ku elakkan saat ratusan kenangan menghampiriku dengan menghadirkanmu yang sudah pergi dan tak mau kembali.

Sang malam sering melihatku duduk sendiri di keramaian kota saat senja menghilang. Dia sering menyebutku sang sunyi, yang senantiasa menutup-nutupi bekas luka hati dengan mencari keramaian dengan mempertontonkan wajah sumringah, yang membuatku banyak digemari para lelaki. Mereka mengenalku dengan sebutan gadis manis tanpa cela. Mereka dengan mudah memasuki kehidupanku tanpa mengetuk pintu, kemudian duduk berdua lalu berbicara cinta. Mereka selalu berbicara tentang opini-opini cinta yang diagung-agungkan untuk memenangkan hatinya. Gadis manis yang sudah mengubur opini cintanya dan menggantikannya dengan sakit hati saat ditinggal pergi lelaki saat sedang cinta-cintanya.

Saat jalan jalan utama melenggang dan bulan mulai menuju arah barat. Lelaki yang beruntung bisa duduk lebih lama lalu berbicara hati dengan dia yang seharusnya berlindung dibawah selimut sama seperti gadis yang lain. Kata romantis dengan panggilan kesayangan serta menjadi prioritas adalah sesuatu yang menyenangkanku disaat sunyi yang menawarkan sepi. Lelaki sering sekali mengucap kata cinta yang katanya suci, tapi bagiku cinta hanyalah bagian dari kamuflase cara bunuh diri. Mereka bisa dengan mudah mengatakan benar mencintaiku, tetapi pada saat yang sama itu tidak mempunyai arti apa-apa.

Sunyi memberiku sebuah kaset pita yang diputar bersama anak-anak rindu. Bagiku, rindu tak pernah datang sendiri, dia selalu datang bersama kelenjar mata yang memanas serta diikuti sesak dada yang tak kunjung reda. Saat bintang berganti sang surya, aku kembali duduk sendiri. Dia mengenalku dengan sosok sang sepi yang patah hati.

Aku-lah sang sepi yang sendiri dengan hati yang sudah mati. Aku-lah sang sepi yang mencintai keramaian dan sukarela membuka pintu hati untuk semua lelaki yang datang, singgah, kemudian pergi. Aku-lah sang sepi, yang selalu sumringah dengan air mata yang tak pernah habis. Aku-lah sang sepi yang ditikam hatinya setiap detik oleh lelaki yang sedekat nadi tapi sejauh mata yang tak pernah melihat telinga.

Senin, April 06, 2015

0

Saudade



Ini adalah detik-detik terakhirku, sebelum aku dilarang memandangimu dengan perasaan cinta yang berapi-api, meskipun dulu selalu kau coba untuk memadamkannya. Tuhan memang sengaja tidak menempatkan dirimu dalam skenario hidupku, meskipun doaku selalu saja menggema tentangmu. Seharusnya aku harus menyadari bahwa kamu memang tak pernah menginginkan kehadiranku dalam hidupmmu. Maafkan aku yang dengan sengaja memaksakan cintaku
padamu.

Kau tahu, kita tidak pernah bisa memaksa seseorang untuk mencintai kita. Apakah ada hal yang lebih kejam dari memaksa seseorang mencintai kita yang tidak dia cintai?

***
“Maaf, mbak mau memesan apa?” Seorang pelayan menanyakanku tentang coffee apa yang aku pesan. Aku langsung saja membuka daftar menu yang telah ada dimeja yang sejak tadi aku buka-tutup tanpa melihat isinya.

“Emm, maaf mbak, saya pesan secangkir latte macchiato dengan tiga shoot gula pasir, Mbak, itu saja dulu.” Kataku dengan cepat tanpa membaca daftar menu yang sedari tadi aku buka tutup tanpa ada keinginan untuk membacanya.

“Tunggu sebentar ya.” Pelayan itu tersenyum dan pergi menuju meja barista.

Tidak lama kemudian, pelayan menghantarkan pesananku. “Silahkan dinikmati, mbak.” Ucapnya dengan senyumman seraya meletakkan latte macchiato pesananku, lalu aku membalasnya dengan senyum yang senada.

Aku hanya memainkan sendok yang ada dalam gelas latte macchiato dan mengingat kembali saat aku masih menjadi mahasiswa baru dan berjumpa dengan seniornya dicaffe ini tiga tahun yang lalu.  Aku memandangi seluruh penjuru caffe ini tak terkecuali ornamen yang terpasang didinding-dinding sekelilingku. Semuanya masih sama dan tertata dengan apik.

Aku kembali ingat saat suatu malam, ketika aku memaksa untuk datang dalam wisudamu. Kamu dengan keras menolakku, dan membentakku. Aku hanya terdiam, dan menundukkan kepalaku.
“Kenapa aku ga boleh datang ke acara wisudamu?” Tanyaku dengan suara yang sengaja aku pelankan, agar semua orang tak mengetahui apa yang sedang kita debatkan.

“Aku ga mau orang-orang berpikir bahwa kita ada hubungan lebih.” Katamu seraya melepaskan tanganku yang ada dilenganmu. Aku terdiam, lalu mencerna kalimat yang baru saja aku dengar dari seseorang yang aku cintai.

“Bukankah selama ini hubungan kita sudah lebih dari teman. Aku pikir kita sudah menjadi pasangan kekasih.” Kataku dengan menundukkan kepalaku.

“Selama ini kita hanya teman. Saat aku mengiyakan semua ajakanmu untuk pergi, itu semua aku lakukan karena aku temanmu. Saat kau memanggilku dengan panggilan kesayangan, aku anggap itu adalah caramu menyampaikan rasa sayangmu kepadaku sebagai teman. Karna memang aku tak mencintaimu dari awal.” Ucapmu seraya berdiri dan berjalan membelakangiku. Aku masih melihat punggungmu yang perlahan namun pasti mulai menjauh dan semakin jauh.

Semenjak saat itu semua berubah.

Kamu dengan cepat memutus semua komunikasi kepadaku, dan aku pun tak berani untuk menanyakan kabarmu. Aku hanya selalu diam-diam memperhatikanmu dari kejauhan, tanpa harus mengganggumu. Seperti saat wisudamu kala itu, matahari sudah sedikit bergerak keatas dan aku memberanikan diri untuk datang diaula kampus memerhatikanmu dari jauh. Aku menundukkan kepalaku, sengaja menyembunyikan wajahku dan terutama mataku yang sudah mulai panas karena melihatmu menggangdeng mesra seorang wanita dan diikuti langkah kecil orang tuamu.

Kamu tidak salah karena tidak memilihku untuk sebagai ratu dihatimu. Yang aku sesalkan adalah, kenapa kamu masih menjadi raja dalam hatiku saat yang kau lakukan hanyalah melaraku?

Setelah kejadian malam itu, aku selalu menyibukkan diriku dengan berbagai macam hal. Aku tak pernah membiarkan diriku larut dalam sesuatu yang membuatku mengingatmu. Aku selalu menikam rinduku setiap detik hanya untuk menjauhkan kenangan terhadap dirimu. Aku mengikuti semua kegiatan yang membuatku lelah pada malam hari, sehingga saat aku tertidur, aku tak akan mengingatmu. 

Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Dan bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun.

Yang aku takutkan kini menjadi nyata. Kau pergi tanpa pernah mencintaiku.

***
“Na, lo tau ga bentar lagi si Pramana bentar lagi menikah.” Kata kak Ardi sepupu kak Pram saat akhir mata kuliah linguistic.

“Kok lo tau sih kak kalo kak Pram udah mo nikah?” Tanyaku dengan pura-pura menulis sesuatu pada bukuku.

“Gue kemarin tanya kedia kapan mo nikah, trus kata dia, dia enam bulan lagi mo nikah.”  Kata kak Ardi. Aku hanya mengernyitkan dahiku dan kembali berpura-pura sibuk menulis.

“Udah lama banget gue ga ada komunikasi sama dia. Gue juga ga ngarep diundang sama dia.” Kataku dengan menatap kak Ardi dengan senyum.

“Lo gak tau Na, dia sering nyariin lo dikampus sehabis wisuda. Nah malah lo nya ngilang ditelan bumi gak ada kabar.” Ucap kak Ardi.

“Gue dulu ada masalah sama keluarga. Nah dia sms gue aja jarang.” Kataku mencoba menutupi segalanya dai kak Ardi

“Dulu sebelum wisuda handphone cupunya dia ilang. Trus dia minta nomor lo ke gue, tapi saat itu gue gak punya. Sampai Kemarin pun dia masih nanyain lo Na.” Kata kak Ardi dengan sangat antusias.

“Trus lo kasih nomor gue ke dia gak kak?” Tanyaku penasaran.

“Gue kasih dia pin bb lo. Gue Cuma punya itu.” Jawab kak Ardi dengan meninggalkanku menuju kantin

Kali ini tak pernah aku mengira jantungku akan berdegup dengan kencang. Aku tak pernah tau apa yang aku rasakan. Sedih, hancur, bahagia, rindu. Semua luluh lantah jadi satu, dan tidak ada kalimat yang bisa mendeskripsikan perasaanku.
Andai saja aku yang berada disisimu saat ini, aku akan merasakan kebahagiaan yang tak pernah bisa aku definisikan dalam satu kalimat. Tapi aku tak akan pernah bisa memaksamu untuk mencintaiku.

***
Tiga bulan berlalu, kegiatan kuliahku sudah mendekati wisuda. Itu berarti aku akan segera pindah ke Bali untuk bekerja. Waktuku tersita oleh persiapan wisudaku. Aku bahkan tidak sempat membalas chat dari kak Pramana. Aku hanya memendam rinduku terhadap kak Pramana.

 Sejak perkataan kak Ardi kemarin tentang kak Pram, aku kembali mengingat kak Pram. Bahkan saat malam tiba, aku sengaja kembali ke caffe tempat kita bertemu pertama kali dulu dan memesan minuman yang sering ku pesan latte macchiato dengan tiga shoot gula. Saat aku memejamkan mata, dan berharap kak Pram disini.

greek.. Suara kursi yang ditarik membuatku membuka mata, dan aku melihat kak Pram didepanku.
"Hai Na, gimana kabarnya?" Tanya-nya dengan senyum yang manis.

"Hai kak Pram, udah lama ga ketemu." Jawabku dengan mengaduk-aduk minumanku.

"Na, aku mau nikah bentar lagi. Dateng ya."  Kata kak Pram dengan memberikanku sebuah undangan pernikahan.

"Aku usahain ya." Kataku sambil tersenyum menahan air mata.

"Nanti kamu dateng baca puisi ya. Puisi kamu yang dimuat dikoran kampus bagus-bagus Na." Katanya sedikit memujiku.

"Aku usahain ya kak Pram." Kataku menahan pilu.

Bahkan dalam memaksakan cinta, pilihan apapun tak akan pernah adil.
*** 

Di sinilah aku sekarang, duduk dengan mengenakan gaun putih dengan rambut digerai yang menunjukkan penampilan terbaikku di hari satu-satunya orang yang aku cintai melakukan prosesi penyatuan bahagia yang hakiki.

Sekembalinya ke Jakarta, aku melihat cukup banyak perubahan. Orang-orang yang kukenal di kota penuh kemacetan ini sudah banyak yang berbeda. Di acara pernikahan bernuansa Eropa ini, kuperhatikan jelas sekali banyak teman-teman kampusku yang sudah berkeluarga dan sukses.

Sejak kuputuskan bermigrasi ke Bali untuk bekerja di salah Dubes, aku telah bertekad untuk meniti kehidupan baru dan juga hubungan baru. Tetapi ternyata tidak semua yang kuharapkan terwujud, seperti hubungan baru. Banyak pria yang kukenal dengan baik, tetapi mereka tetap tidak dapat menggantikan Kak Pramana. Kuakui, aku pindah ke kota Bali itu dengan harapan dapat melupakan Kak Pram.

Di tanganku, terselip sebuah puisi picisan yang kubuat saat aku bertemu kak Pram –dan ketahuan olehnya yang membaca koran kampus. Ia ingin aku membacakannya di atas panggung sebelum bouquet dilempar ke para tamu. Di hari yang bahagia ini, aku juga ingin menyatakan perasaan ini kepada Kak Pram lewat puisi itu tanpa harus diketahui kak Pram dan wanitanya. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya lega menyatakan cinta, tanpa mengharapkan apa-apa.

“Gimana? Udah siap bacain?” tanya kak Pram  yang tampak tampan dan gagah dengan jas pengantin berwarna krem.Wanitanya  tersenyum menatap ke arahku dengan mata berbinar. Terlihat jelas sinar bahagia di kedua mata itu.

Aku mengedikkan bahu sebelum ketahuan terpesona dengan calon suami orang. “Gue pun gak tau punya bakat jadi pujangga. Hahaha!” Tawa kami bertiga tergelak di luar pintu kamar pengantin. Kerumunan tamu tampaknya sedang menunggu momen pelemparan bouquet.

Banyak orang yang percaya bahwa orang yang mendapatkan rangkaian bunga ini akan bertemu jodohnya. Kurasa, sepertinya tidak salah juga jika aku percaya.

“Waaah, udah nggak sabar nih dapetin jodoh?” kata kak Pram dengan nada iseng lewat mic kepada para tamu yang berkerumun di hadapannya.

“Iyaa dooong! Bosen jomlo mulu…,” ucap salah satu tamu undangan wanita berkebaya merah muda.
“Biar cepet nyusul nikah juga kayak lo, !” sahut tamu lainnya. Kak Pram terkekeh melihat ungkapan-ungkapan jujur mereka.

Kak Pram berkata. “Oke, sebelum gue lempar bouquet, seorang temen terbaik di dalam hidup gue yang mau bacain puisinya dengan harapan yang sama seperti kalian. Ketemu jodohnya. Hehehe.” Aku tersenyum sebal mendengar ucapannya.

Setelahnya, Kak Pram memberi isyarat kepadaku untuk berdiri di sampingnya. “Dia adalah Nana Cahya Reswati. Semoga temen gue ini bertemu dengan jodohnya, yang bisa aja berada di sini,” ucapnya dengan serius, lalu tersenyum mantap ke arahku.

Aku pun melangkah menuju stand mic, lalu sekilas memperhatikan para tamu yang memperhatikanku dengan senyum penuh penasaran. Kebanyakan dari mereka adalah wanita.

“Perkenalkan, nama gue Nana. Semua yang diomongin tadi tadi itu jangan terlalu dipercaya ya, dia tuh orangnya iseng,” kataku membuka penampilan, yang disambut dengan tawa renyah.

Kemudian aku melanjutkan, “Okay, gue mau membacakan sebuah puisi singkat yang dibuat beberapa tahun lalu. Jujur, di dalam puisi ini, gue ingin menyampaikan cinta kepada seorang lelaki  yang sejak lama gue pendam. Dengan membacakan puisi ini, berarti tanda gue telah mengikhlaskannya dia berbahagia bersama orang lain.”

Para tamu pun diam dan memperhatikanku dengan seksama. Aku menarik napas mengumpulkan nyali dan membuang grogi. Badanku bergetar hebat. Aku melihat ke arah Kak Pram dan wanitanya, mereka berdua tersenyum kepadaku. Untuk pertama kalinya aku memandang Kak Pram dengan senyum paling tulus yang kupunya.

Denting piano mengalun pelan dan syahdu memainkan lagu Jikustik-Untuk Dikenang. Dengan perlahan dan kesungguhan rasa, aku tersenyum membaca tiap deretan kata puisi.
Kamu.
Tak ku sangka kita akan sedekat nadi.
Yang membutuhkan satu dengan lain.
Lantas apa yang harus aku cari lagi?
Jika aku sudah menemukanmu.
Lalu bagaimana caranya kau agar mengetahui?
Tanpa harus memaksakan hati.
Aku pernah mencintaimu sembunyi-sembunyi, dan memaksamu mencintai.
Seperti bulan yang memaksa bertemu matahari,
Yang tak rela subuh beranjak pergi.
 
Sorak sorai dan tepuk tangan membanjiri setelah kata terakhir puisi itu menggema di pengeras suara. Kak Pram dan wanitanya menghampiriku dan bergantian memelukku. Kemudian aku turun panggung dan berbaur dengan para tamu untuk berebut bouquet.

Sebelah tangan Kak Pram dan wanitanya menggenggam bouquet yang hendak mereka lemparkan. Dalam aba-aba hitungan satu, dua, dan tiga, bouquet pun melayang di udara yang akan disambut oleh berpasang-pasang tangan yang ingin mendapatkannya.

Pada detik-detik ini, aku terdiam melihat bouquet itu menuju ke arahku. Aku menjulurkan lengan ke atas, kurasakan jantungku berdegup kencang seperti lintasan pacuan kuda saat mataku terpejam. Tanpa kusadari aku melompat rendah dan berhasil meraih bouquet itu, dan tidak pernah kuduga skenario Tuhan mengantarkan sebuah lengan lain yang juga ikut meraihnya secara bersamaan.

Aku membuka mata dan melihat siapa pemilik tuksedo hitam yang ada disebelahku. Seorang lelaki dengan rambut yang memakai topi bundar cokelat yang tampak lucu.

Kedua ujung bibir lelaki itu bergerak ke atas melahirkan senyum yang lebar untukku. Aku pun tersenyum dengan jantung yang berdegup kencang dan perut yang terasa seperti ada burung merpati terbang.

Kami berdua saling berpandangan cukup tanpa menyadari orang di sekitar kami memperhatikan Kak Pram dan wanitanya melihatku sambil bertepuk tangan

"Hai Nana, Namaku Hendra Adi bhaskoro." Ucapnya sambil menggenggam tanganku dan tersenyum. Senyum manis yang ingin aku jaga sampai nanti.

Aku tahu, ketika aku mengikhlaskan. Tuhan sebenarnya sudah mempersiapkan yang lebih baik untukku.