Ini adalah detik-detik terakhirku,
sebelum aku dilarang memandangimu dengan perasaan cinta yang berapi-api,
meskipun dulu selalu kau coba untuk memadamkannya. Tuhan memang sengaja tidak
menempatkan dirimu dalam skenario hidupku, meskipun doaku selalu saja menggema
tentangmu. Seharusnya aku harus
menyadari bahwa kamu memang tak pernah menginginkan kehadiranku dalam hidupmmu.
Maafkan aku yang dengan sengaja memaksakan cintaku
padamu.
Kau tahu, kita tidak pernah bisa memaksa seseorang untuk mencintai
kita. Apakah ada hal yang lebih kejam dari memaksa seseorang mencintai kita
yang tidak dia cintai?
***
“Maaf, mbak mau memesan apa?”
Seorang pelayan menanyakanku tentang coffee
apa yang aku pesan. Aku langsung saja membuka daftar menu yang telah ada dimeja
yang sejak tadi aku buka-tutup tanpa melihat isinya.
“Emm, maaf mbak, saya pesan
secangkir latte macchiato dengan tiga
shoot gula pasir, Mbak, itu saja
dulu.” Kataku dengan cepat tanpa membaca daftar menu yang sedari tadi aku buka
tutup tanpa ada keinginan untuk membacanya.
“Tunggu sebentar ya.” Pelayan itu
tersenyum dan pergi menuju meja barista.
Tidak lama kemudian, pelayan
menghantarkan pesananku. “Silahkan dinikmati, mbak.” Ucapnya dengan senyumman
seraya meletakkan latte macchiato pesananku,
lalu aku membalasnya dengan senyum yang senada.
Aku hanya memainkan sendok yang
ada dalam gelas latte macchiato dan
mengingat kembali saat aku masih menjadi mahasiswa baru dan berjumpa dengan
seniornya dicaffe ini tiga tahun yang
lalu. Aku memandangi seluruh penjuru caffe ini tak terkecuali ornamen yang
terpasang didinding-dinding sekelilingku. Semuanya masih sama dan tertata
dengan apik.
Aku kembali ingat saat suatu malam,
ketika aku memaksa untuk datang dalam wisudamu. Kamu dengan keras menolakku,
dan membentakku. Aku hanya terdiam, dan menundukkan kepalaku.
“Kenapa aku ga boleh datang ke
acara wisudamu?” Tanyaku dengan suara yang sengaja aku pelankan, agar semua orang
tak mengetahui apa yang sedang kita debatkan.
“Aku ga mau orang-orang berpikir
bahwa kita ada hubungan lebih.” Katamu seraya melepaskan tanganku yang ada
dilenganmu. Aku terdiam, lalu mencerna kalimat yang baru saja aku dengar dari
seseorang yang aku cintai.
“Bukankah selama ini hubungan kita
sudah lebih dari teman. Aku pikir kita sudah menjadi pasangan kekasih.” Kataku
dengan menundukkan kepalaku.
“Selama ini kita hanya teman. Saat
aku mengiyakan semua ajakanmu untuk pergi, itu semua aku lakukan karena aku
temanmu. Saat kau memanggilku dengan panggilan kesayangan, aku anggap itu
adalah caramu menyampaikan rasa sayangmu kepadaku sebagai teman. Karna memang
aku tak mencintaimu dari awal.” Ucapmu seraya berdiri dan berjalan
membelakangiku. Aku masih melihat punggungmu yang perlahan namun pasti mulai
menjauh dan semakin jauh.
Semenjak saat itu semua berubah.
Kamu dengan cepat memutus semua
komunikasi kepadaku, dan aku pun tak berani untuk menanyakan kabarmu. Aku hanya
selalu diam-diam memperhatikanmu dari kejauhan, tanpa harus mengganggumu. Seperti saat
wisudamu kala itu, matahari sudah sedikit bergerak keatas dan aku memberanikan
diri untuk datang diaula kampus memerhatikanmu dari jauh. Aku menundukkan
kepalaku, sengaja menyembunyikan wajahku dan terutama mataku yang sudah mulai
panas karena melihatmu menggangdeng mesra seorang wanita dan diikuti langkah
kecil orang tuamu.
Kamu tidak salah karena tidak memilihku untuk sebagai ratu dihatimu. Yang
aku sesalkan adalah, kenapa kamu masih menjadi raja dalam hatiku saat yang kau
lakukan hanyalah melaraku?
Setelah kejadian malam itu, aku
selalu menyibukkan diriku dengan berbagai macam hal. Aku tak pernah membiarkan
diriku larut dalam sesuatu yang membuatku mengingatmu. Aku selalu menikam
rinduku setiap detik hanya untuk menjauhkan kenangan terhadap dirimu. Aku
mengikuti semua kegiatan yang membuatku lelah pada malam hari, sehingga saat
aku tertidur, aku tak akan mengingatmu.
Hari berganti hari. Minggu
berganti minggu. Dan bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun.
Yang aku takutkan kini menjadi nyata. Kau pergi tanpa pernah
mencintaiku.
***
“Na, lo tau ga bentar lagi si Pramana
bentar lagi menikah.” Kata kak Ardi sepupu kak Pram saat akhir mata kuliah linguistic.
“Kok lo tau sih kak kalo kak Pram
udah mo nikah?” Tanyaku dengan pura-pura menulis sesuatu pada bukuku.
“Gue kemarin tanya kedia kapan mo
nikah, trus kata dia, dia enam bulan lagi mo nikah.” Kata kak Ardi. Aku hanya mengernyitkan dahiku
dan kembali berpura-pura sibuk menulis.
“Udah lama banget gue ga ada
komunikasi sama dia. Gue juga ga ngarep diundang sama dia.” Kataku dengan
menatap kak Ardi dengan senyum.
“Lo gak tau Na, dia sering
nyariin lo dikampus sehabis wisuda. Nah malah lo nya ngilang ditelan bumi gak
ada kabar.” Ucap kak Ardi.
“Gue dulu ada masalah sama
keluarga. Nah dia sms gue aja jarang.” Kataku mencoba menutupi segalanya dai
kak Ardi
“Dulu sebelum wisuda handphone cupunya dia ilang. Trus dia
minta nomor lo ke gue, tapi saat itu gue gak punya. Sampai Kemarin pun dia masih
nanyain lo Na.” Kata kak Ardi dengan sangat antusias.
“Trus lo kasih nomor gue ke dia
gak kak?” Tanyaku penasaran.
“Gue kasih dia pin bb lo. Gue Cuma
punya itu.” Jawab kak Ardi dengan meninggalkanku menuju kantin
Kali ini tak pernah aku mengira
jantungku akan berdegup dengan kencang. Aku tak pernah tau apa yang aku
rasakan. Sedih, hancur, bahagia, rindu. Semua luluh lantah jadi satu, dan tidak
ada kalimat yang bisa mendeskripsikan perasaanku.
Andai saja aku yang berada disisimu saat ini, aku akan merasakan
kebahagiaan yang tak pernah bisa aku definisikan dalam satu kalimat. Tapi aku
tak akan pernah bisa memaksamu untuk mencintaiku.
***
Tiga bulan berlalu, kegiatan
kuliahku sudah mendekati wisuda. Itu berarti aku akan segera pindah ke Bali
untuk bekerja. Waktuku tersita oleh persiapan wisudaku. Aku bahkan tidak sempat
membalas chat dari kak Pramana. Aku
hanya memendam rinduku terhadap kak Pramana.
Sejak perkataan kak Ardi kemarin tentang kak Pram, aku kembali mengingat kak Pram. Bahkan saat malam tiba, aku sengaja kembali ke caffe tempat kita bertemu pertama kali dulu dan memesan minuman yang sering ku pesan latte macchiato dengan tiga shoot gula. Saat aku memejamkan mata, dan berharap kak Pram disini.
greek.. Suara kursi yang ditarik membuatku membuka mata, dan aku melihat kak Pram didepanku.
"Hai Na, gimana kabarnya?" Tanya-nya dengan senyum yang manis.
"Hai kak Pram, udah lama ga ketemu." Jawabku dengan mengaduk-aduk minumanku.
"Na, aku mau nikah bentar lagi. Dateng ya." Kata kak Pram dengan memberikanku sebuah undangan pernikahan.
"Aku usahain ya." Kataku sambil tersenyum menahan air mata.
"Nanti kamu dateng baca puisi ya. Puisi kamu yang dimuat dikoran kampus bagus-bagus Na." Katanya sedikit memujiku.
"Aku usahain ya kak Pram." Kataku menahan pilu.
Bahkan dalam memaksakan cinta, pilihan apapun tak akan pernah adil.
***
Di sinilah aku sekarang, duduk dengan
mengenakan gaun putih dengan rambut digerai yang menunjukkan
penampilan terbaikku di hari satu-satunya orang yang aku cintai melakukan prosesi
penyatuan bahagia yang hakiki.
Sekembalinya ke Jakarta, aku melihat cukup
banyak perubahan. Orang-orang yang kukenal di kota penuh kemacetan ini
sudah banyak yang berbeda. Di acara pernikahan bernuansa Eropa ini,
kuperhatikan jelas sekali banyak teman-teman kampusku yang sudah
berkeluarga dan sukses.
Sejak kuputuskan bermigrasi ke Bali untuk
bekerja di salah Dubes, aku telah bertekad untuk meniti
kehidupan baru dan juga hubungan baru. Tetapi ternyata tidak semua yang
kuharapkan terwujud, seperti hubungan baru. Banyak pria yang kukenal
dengan baik, tetapi mereka tetap tidak dapat menggantikan Kak Pramana. Kuakui,
aku pindah ke kota Bali itu dengan harapan dapat melupakan Kak Pram.
Di tanganku, terselip sebuah puisi picisan
yang kubuat saat aku bertemu kak Pram –dan ketahuan olehnya yang membaca koran kampus. Ia ingin aku membacakannya di atas panggung sebelum bouquet dilempar
ke para tamu. Di hari yang bahagia ini, aku juga ingin menyatakan
perasaan ini kepada Kak Pram lewat puisi itu tanpa harus diketahui kak Pram dan wanitanya. Aku ingin merasakan bagaimana rasanya lega menyatakan cinta,
tanpa mengharapkan apa-apa.
“Gimana? Udah siap bacain?” tanya kak Pram yang tampak tampan dan gagah dengan jas pengantin berwarna krem.Wanitanya tersenyum menatap ke arahku dengan mata berbinar. Terlihat jelas
sinar bahagia di kedua mata itu.
Aku mengedikkan bahu sebelum ketahuan terpesona dengan calon suami orang. “Gue pun gak tau punya bakat jadi pujangga. Hahaha!” Tawa kami bertiga tergelak di luar pintu kamar pengantin. Kerumunan tamu tampaknya sedang menunggu momen pelemparan bouquet.
Banyak
orang yang percaya bahwa orang yang mendapatkan rangkaian bunga ini
akan bertemu jodohnya. Kurasa, sepertinya tidak salah juga jika aku
percaya.
“Waaah, udah nggak sabar nih dapetin jodoh?” kata kak Pram dengan nada iseng lewat mic kepada para tamu yang berkerumun di hadapannya.
“Iyaa dooong! Bosen jomlo mulu…,” ucap salah satu tamu undangan wanita berkebaya merah muda.
“Biar cepet nyusul nikah juga kayak lo, !” sahut tamu lainnya. Kak Pram terkekeh melihat ungkapan-ungkapan jujur mereka.
Kak Pram berkata. “Oke, sebelum gue lempar bouquet, seorang temen
terbaik di dalam hidup gue yang mau bacain puisinya dengan harapan yang
sama seperti kalian. Ketemu jodohnya. Hehehe.” Aku tersenyum sebal
mendengar ucapannya.
Setelahnya, Kak Pram memberi isyarat kepadaku
untuk berdiri di sampingnya. “Dia adalah Nana Cahya Reswati. Semoga temen gue ini bertemu dengan jodohnya, yang bisa aja berada di sini,”
ucapnya dengan serius, lalu tersenyum mantap ke arahku.
Aku pun melangkah menuju stand mic, lalu sekilas memperhatikan para tamu yang memperhatikanku dengan senyum penuh penasaran. Kebanyakan dari mereka adalah wanita.
“Perkenalkan, nama gue Nana. Semua yang
diomongin tadi tadi itu jangan terlalu dipercaya ya, dia tuh orangnya
iseng,” kataku membuka penampilan, yang disambut dengan tawa renyah.
Kemudian aku melanjutkan, “Okay, gue mau
membacakan sebuah puisi singkat yang dibuat beberapa tahun lalu. Jujur, di
dalam puisi ini, gue ingin menyampaikan cinta kepada seorang lelaki yang
sejak lama gue pendam. Dengan membacakan puisi ini, berarti tanda
gue telah mengikhlaskannya dia berbahagia bersama orang lain.”
Para tamu pun diam dan memperhatikanku
dengan seksama. Aku menarik napas mengumpulkan nyali dan membuang grogi.
Badanku bergetar hebat. Aku melihat ke arah Kak Pram dan wanitanya, mereka berdua
tersenyum kepadaku. Untuk pertama kalinya aku memandang Kak Pram dengan
senyum paling tulus yang kupunya.
Denting piano mengalun pelan dan syahdu
memainkan lagu Jikustik-Untuk Dikenang. Dengan perlahan dan
kesungguhan rasa, aku tersenyum membaca tiap deretan kata puisi.
Kamu.
Tak ku sangka kita akan sedekat nadi.
Yang membutuhkan satu dengan lain.
Lantas apa yang harus aku cari lagi?
Jika aku sudah menemukanmu.
Lalu bagaimana caranya kau agar mengetahui?
Tanpa harus memaksakan hati.
Aku pernah mencintaimu sembunyi-sembunyi, dan memaksamu mencintai.
Seperti bulan yang memaksa bertemu matahari,
Yang tak rela subuh beranjak pergi.
Sorak sorai dan tepuk tangan membanjiri
setelah kata terakhir puisi itu menggema di pengeras suara. Kak Pram dan wanitanya
menghampiriku dan bergantian memelukku. Kemudian aku turun panggung dan
berbaur dengan para tamu untuk berebut bouquet.
Sebelah tangan Kak Pram dan wanitanya menggenggam bouquet yang hendak mereka lemparkan. Dalam aba-aba hitungan satu, dua, dan tiga, bouquet pun melayang di udara yang akan disambut oleh berpasang-pasang tangan yang ingin mendapatkannya.
Pada detik-detik ini, aku terdiam melihat bouquet itu
menuju ke arahku. Aku menjulurkan lengan ke atas, kurasakan jantungku
berdegup kencang seperti lintasan pacuan kuda saat mataku terpejam.
Tanpa kusadari aku melompat rendah dan berhasil meraih bouquet itu, dan tidak pernah kuduga skenario Tuhan mengantarkan sebuah lengan lain yang juga ikut meraihnya secara bersamaan.
Aku membuka mata dan melihat siapa pemilik tuksedo hitam yang ada disebelahku. Seorang lelaki dengan rambut yang memakai topi bundar cokelat yang tampak lucu.
Kedua ujung bibir lelaki itu bergerak ke
atas melahirkan senyum yang lebar untukku. Aku pun tersenyum
dengan jantung yang berdegup kencang dan perut yang terasa seperti ada
burung merpati terbang.
Kami berdua saling berpandangan cukup tanpa menyadari orang di sekitar
kami memperhatikan Kak Pram dan wanitanya melihatku sambil bertepuk tangan
"Hai Nana, Namaku Hendra Adi bhaskoro." Ucapnya sambil menggenggam tanganku dan tersenyum. Senyum manis yang ingin aku jaga sampai nanti.
Aku tahu, ketika aku mengikhlaskan. Tuhan sebenarnya sudah mempersiapkan yang lebih baik untukku.