Ini bukanlah hal yang pertama ku
lakukan, duduk sendirian dan memerhatikan statusmu yang berlalu lalang d social
media. Setiap kata yang terangkai menjadi sebuah kalimat, dan aku tak pernah
tahu kenapa engkau selalu berada disana, berada dalam setiap bait tulisanku
yang sebenarnya enggan aku baca dan aku definisikan lagi. Ini bukanlah sesuatu
hal yang baru untukku, duduk berjam-jam tanpa merasakan kehangatan perhatianmu
melalui pesan singkat. Mungkin, kekosongan dan kehampaan yang menemaniku sudah
berganti beberapa wajah sejak tadi, namun aku tetap diam, mencoba tak
memperdulikan keadaan. Karena jika aku terlalu terbawa emosi, aku bisa mati
muda.
Tentu saja kamu tak merasakan apa
yang aku rasakan, kamu juga tak memiliki rindu yang tersimpan sangat rapat. Aku
sengaja menyembunyikan perasaan itu, meski pada akhirnya kau mengetahuinya. Tapi
percayalah, aku tak ingin mengganggumu. Bukankah berjauhan seperti ini, semua
akan terasa lebih baik? Seakan-akan aku tidak peduli, seakan-akan aku tidak mau
tahu, seakan-akan aku tak memiliki rasa perhatian. Untukku seperti ini sudah
cukup, cukup aku, kamu dan tanpa kita.
Kali ini, aku tidak akan bercerita
tentang kesepianku atau bercerita tentang hal yang mungkin saja sulit kau
pahami. Karena aku sudah tahu, kamu sangat sulit untuk diajak basa-basi jika itu
menyangkut diriku. Aku yakin, kamu akan menutup semua telingamu dan mengeraskan
volume lagu-lagu yang bernyanyikan tentang perempuan yang sangat kau cintai. Aku tak pernah tega untuk membebanimu dengan
cerita-cerita absurd yang selalu kau maki dan kau benci. Seperti saat dulu aku
berbicara rindu, kau malah menertawakanku. Seperti dulu saat kita masih
bersama, aku berusaha menghiburmu dengan bernyanyi, namun kau tulikan
telingamu.
Hanya sebuah cerita sederhana
yang mungkin tak mau kau dengar sebagai pengantar tidurmu. Kau tak suka jika
aku menceritakan tentang air mata yang aku keluarkan untukmu bukan? Bagaimana jika
ku ganti air mata dengan senyum pura-pura? Tentu saja, kau tak ingin
melihatnya. Sejauh yang aku tahu tentang dirimu; kau tidak peka; kau angkuh dan
sombong. Dan mungkin saja sifat lamamu yang buruk ini masih sama, walaupun kita
sudah berpisah sangat lama dan sudah lama tidak berkirim kabar.
Akhir-akhir ini aku kembali
merasakan sepi sekali. Aku seperti mendengar suara ku yang selalu menyebutkan
namamu. Namun, aku masih saja heran. Dalam gelapnya malam ternyata ada banyak
cerita yang sempat aku lewatkan kisahnya. Tentang kita. Ah….. sudahlah, pasti
kamu sekarang sedang membuang muka. Tak ingin menyentuh bayang-bayangmu yang
sangat samar terlihat. Aku juga tak ingin mereka-reka senyummu yang sudah tak
seindah dulu.
Wajah baruku bisa kau lihat
sendiri, terlihat lebih baik dan lebih hangat daripada saat awal perpisahan
kita. Berbicara mengenai perpisahan, benarkah kita berpisah? Benarkah kita
saling melupakan? Jika memang ada kata ”saling” namun kenapa hatiku masih ingin
terus mengikatmu? Dan, kenapa tak ada alasan untuk tidak berbagi? Dalam serba
ketidakjelasan, aku dan kamu masih saja menjalani. . . menjalani sesuatu yang
aku sendiri pun tidak tahu harus menyebut semua ini apa. Tapi dulu kau
terkadang mencariku. Terlalu tololkah jika ku sebut ini belahan jiwa? Keterikatan
kamu dan aku tanpa ada status, tapi jiwa kita, napas kita, kerinduan kita;
memiliki denyut dan detak yang sama.
Tak usah dibawa serius mas, hanya
bebrapa rangkaian paragraf bodoh untuk menemani rasa sepi yang sudah sejak
lama datang menghantui. Sejak kamu tak lagi menemani hariku, sejak aku dan kamu
memilih jalan sendiri-sendiri, aku malah sering bermain-main dengan sepi, sulit
untuk dipungkiri.
Hitungan bulan lagi tanggal 2
Desember. Ingat apa saja yang sudah kita lewati selama 2 tahun terakhir?
Saat dulu aku dan kamu menjadi
kita. Indah. Bahkan terlalu indah. Tapi, masa lalu, dulu. Sudah ku bilang sejak
awal kan, “dulu" memang menyenangkan.