Jika dia mencintaimu, dia tidak akan membuatmu menunggu untuk sebuah pesan singkat. -risyda-
Kali ini aku tak mau bersahabat dengan siapa saja, termasuk dengan Tuhan. Hari ini aku mengutuk diriku sendiri, mengutuk hatiku. Mengutuk hati yang selalu kembali memaafkan seseorang yang selalu membuatku menangis saat matahari terbenam sampai terbitnya matahari. Sampai kapan aku harus selalu menyembunyikan kegelisahanku. Aku tidak membutuhkan pasangan yang seperti romeo, yang harus mengorbankan nyawanya untukku. Aku hanya membutuhkan lelaki yang tau bagaimana rasanya dikhawatirkan. Bahkan, malam ini Tuhan-pun mulai jengah saat berulang kali aku merapalkan doa untukmu yang sama berulang kali. Aku hanya ingin kamu, bukan bayanganmu. Aku tak mau berteman dengan bayangmu, lalu berharap keajaiban datang kepadaku, atau paling tidak dia menemuimu.
Malam ini, hujan sepertinya menginginkanku bergabung untuk menari bersama, kemudian berjelaga dalam diam dan lalu hening. Tidak ada prosa yang bisa menggambarkan perasaanku kali ini. Bahkan, untuk membuat kalimat "aku mencintaimu" secara menyakitkan-pun aku tak mampu. Aku tak tahu, harus berapa banyak kalimat yang menusukku melebihi belati. Apa kamu perlu lebih banyak aksara untuk membuatku terpuruk kemudian berdiam diri layaknya zombie?
Aku tak banyak tahu apa yang harus aku perbuat, selain menghibur mataku yang mulai sembab ketika kau hanya lewat tak berjarak. Tuhan, sejauh manakah kamu akan membuatku menyesali semua keputusanku? Atau mungkin ini-lah yang orang lain sebut takdir? Aku tak tahu harus mensyukuri atau menganggap kedatanganmu ini musibah untukku? Jika kamu adalah sesuatu yang harus aku syukuri, seharusnya aku tak harus berdamai dengan sepi saat kau pergi. Jika kamu adalah musibah untukku, seharusnya aku tak sesenang itu melihat deretan foto album kita berdua. Aku tak percaya jika Tuhan tak adil, tapi kapan aku bisa menemukan orang yang mencintaiku tanpa adanya duka dan dusta yang membuat sengsara?
Segelas duka sudah aku minum saat sang bulan tak bercahaya, lalu membawaku kedalam antah berantah yang aku beri nama Nulle Part. Disana gelap pekat tanpa suara. Disitulah dulu aku tinggal untuk beberapa lama, sebelum akhirnya kamu datang menarikku keluar dari rutinitas yang menyedihkan. Aku tak ingin kembali kedalam Nulle Part yang mematikan itu. Aku tak ingin menangis dan terjerembab dalam elegi tanpa henti. Membuat aksara pita hitam lalu menancapkannya dihati. Aku tak ingin kamu memakamkan yang orang lain sebut impian. Sudah cukup Tuan, aku tak mau berdamai dengan lara dan kegelisahan yang nyata.
Tuan, kamu harus tahu, yang kamu sebut sebagai orang banyak aturan itu aku. Ketahuilah tuan, cemburuku, marahku, tangisku, dan tentu saja laraku. Semua aku lakukan untuk menjadi yang terbaik untukku.
Maaf Tuan, kali ini egoisku tak bisa aku jaga seperti harapmu. Maafkan keegoisanku dalam mencintaimu.
Malam ini, hujan sepertinya menginginkanku bergabung untuk menari bersama, kemudian berjelaga dalam diam dan lalu hening. Tidak ada prosa yang bisa menggambarkan perasaanku kali ini. Bahkan, untuk membuat kalimat "aku mencintaimu" secara menyakitkan-pun aku tak mampu. Aku tak tahu, harus berapa banyak kalimat yang menusukku melebihi belati. Apa kamu perlu lebih banyak aksara untuk membuatku terpuruk kemudian berdiam diri layaknya zombie?
Aku tak banyak tahu apa yang harus aku perbuat, selain menghibur mataku yang mulai sembab ketika kau hanya lewat tak berjarak. Tuhan, sejauh manakah kamu akan membuatku menyesali semua keputusanku? Atau mungkin ini-lah yang orang lain sebut takdir? Aku tak tahu harus mensyukuri atau menganggap kedatanganmu ini musibah untukku? Jika kamu adalah sesuatu yang harus aku syukuri, seharusnya aku tak harus berdamai dengan sepi saat kau pergi. Jika kamu adalah musibah untukku, seharusnya aku tak sesenang itu melihat deretan foto album kita berdua. Aku tak percaya jika Tuhan tak adil, tapi kapan aku bisa menemukan orang yang mencintaiku tanpa adanya duka dan dusta yang membuat sengsara?
Segelas duka sudah aku minum saat sang bulan tak bercahaya, lalu membawaku kedalam antah berantah yang aku beri nama Nulle Part. Disana gelap pekat tanpa suara. Disitulah dulu aku tinggal untuk beberapa lama, sebelum akhirnya kamu datang menarikku keluar dari rutinitas yang menyedihkan. Aku tak ingin kembali kedalam Nulle Part yang mematikan itu. Aku tak ingin menangis dan terjerembab dalam elegi tanpa henti. Membuat aksara pita hitam lalu menancapkannya dihati. Aku tak ingin kamu memakamkan yang orang lain sebut impian. Sudah cukup Tuan, aku tak mau berdamai dengan lara dan kegelisahan yang nyata.
Tuan, kamu harus tahu, yang kamu sebut sebagai orang banyak aturan itu aku. Ketahuilah tuan, cemburuku, marahku, tangisku, dan tentu saja laraku. Semua aku lakukan untuk menjadi yang terbaik untukku.
Maaf Tuan, kali ini egoisku tak bisa aku jaga seperti harapmu. Maafkan keegoisanku dalam mencintaimu.
dari wanita yang berharap kamu akan menemuinya
saat matahari terbenam.
seperti saat kita berjumpa untuk kedua kalinya.
dan menyandarkan kepalanya dibahumu.
kau ingat tuan?